Allah Swt
berfirman:
“(Infaq itu)
untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya
karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Q.s. Al-Baqarah: 273).
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw telah bersabda :
“Orang-orang
miskin akan memasuki surga limaratus tahun sebelum orang-orang kaya. (Limaratus
tahun itu) sama dengan setengah hari (surga).” (H.r. Tirmidzi).
Diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Orang miskin
itu bukanlah dia yang berkeliling ke sana kemari dengan harapan diberi orang
sesuap dua suap, sebutir atau dua butir kurma. “ Seseorang bertanya, “Kalau
begitu, siapakah orang miskin itu wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Dia
adalah orang yang tidak menemukan kepuasan atas kekayaannya, dan malu minta
manusia, tidak pula orang banyak mengetahui hal ihwal mereka hingga mereka bisa
diberi sedekah.” (H.r. Ahmad).
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq berkomentar, tentang ucapan Nabi saw, “dan malu meminta,”artinya
adalah bahwa mereka malu kepada Allah swt. untuk meminta-minta dari orang
banyak, bukan malu kepada manusia.
Kefakiran adalah
simbol para wali dan hiasan para Sufi, pilihan Allah swt. pada orang takwa
pilihan dan para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir merupakan pilihan Allah swt.
bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah pengemban rahasia-rahasia-Nya di antara
para hambaNya, yang dengan mereka Dia menjaga para makhluk dan dengan
keberkatan mereka rezeki disebarkan di kalangan manusia.
Orang-orang
fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah swt. pada Hari Kebangkitan,
seperti dikatakan dalam hadis riwayat Umar bin Khathab r.a, yang mengatakan
bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci
surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum fakir yang sabar akan menjadi
sahabat-sahabat Allah Swt. pada Hari Kebangkitan.” (H.r. Ibnu Laal, dari Ibnu
Umar).
Diceritakan
bahwa seorang laki-laki membawa.kan uang sebanyak sepuluh ribu dirham kepada
Ibrahim bin Adham, tetapi Ibrahim tidak menerimanya dan berkata, “Engkau mau
menghapus namaku dari daftar orang-orang miskin dengan uang sepuluh ribu
dirham! Aku tidak akan menerimanya!”
Mu’adz an-Nasafi
menegaskan, “Allah tidak pernah membinasakan suatu kaum, apa pun kejahatan yang
mereka lakukan, kecuali jika mereka merendahkan dan menghina kaum miskin.
“Dikatakan,
manakala para fakir tidak memiliki kebajikan lain dalam pandangan Allah selain
keinginan mereka agar rezeki dilimpahkan dan dimurahkan di kalangan kaum
Muslimin, niscaya itu sudah cukup bagi mereka, sebab mereka perlu membeli
barang-barang dan orang-orang kaya perlu menjualnya. Begitulah halnya dengan
kaum miskin yang awam, maka bagaimana pula halnya dengan kaum yang terpilih di
kalangan mereka?
Ketika Yahya bin
Mu’adz ditanya tentang kefakiran, dia menjawab, “Hakikat kefakiran adalah bahwa
seseorang tidak butuh lagi selain Allah, clan tanda kefakiran adalah tidak
adanya harta benda.”
Ibrahim
al-Qashshar mengatakan, “Kefakiran adalah pakaian yang mewariskan ridha,
apabila fakir memakainya.”
Seorang fakir
dari Zauzan datang kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq pada tahun 394 atau 395
Hijriyah. Dia memakai pakaian yang terbuat dari kain yang sangat kasar dan
kopiah dari kain yang sama. Salah seorang sahabat syeikh itu bertanya dengan
nada bergurau, “Berapa harga pakaianmu ini?” Dia menjawab, “Aku membayarnya
dengan dunia ini, dan akhirat ditawarkan kepadaku untuk ditukar dengannya. Tapi
aku tidak akan menjualnya dengan harta tersebut.”
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq menuturkan, “Suatu ketika seorang miskin mendatangi sebuah pertemuan
untuk meminta sedekah, seraya berkata, ‘Saya sudah tiga hari tidak makan.’
Salah seorang syeikh yang hadir di situ berkata, ‘Engkau dusta! Kemiskinan
adalah rahasia Tuhan. Dia tidak mempercayakan rahasia-Nya kepada orang yang
memamerkannya kepada siapa pun yang dikehendakinya’!”
Hamdun
al-Qashshar menyatakan, “Manakala iblis dan tentaranya berkumpul, mereka tidak
bergembira sebagaimana kegembiraan mereka yang disebabkan tiga hal: seorang
Muslim membunuh sesama Muslim, seseorang yang mati dalam keadaan kafir, dan
sebuah hati yang menyimpan ketakutan pada kemiskinan.”
Al Junayd
berkata, “Wahai orang-orang fakir, kamu semua dijadikan terkenal oleh Allah
swt. dan dihormati karena-Nya. Tetapi perhatikanlah bagaimana keadaanmu
manakala kamu berada sendirian bersama-Nya.” Al-Junayd ditanya, “Keadaan
manakah yang lebih baik: miskin dan bergantung pada Tuhan, ataukah dijadikan
kaya oleh-Nya?” Dia menjauvab, “Jika kemiskinan seseorang adalah shahih,
maka kekayaannya adalah shahih di
sisi-Nya. Jika kekayaannya di sisi-Nya adalah shahih, maka kemiskinan dan
ketergantungannya pada-Nya juga tersempurnakan. Janganlah bertanya, ‘Manakah yang
lebih baik?’ sebab keduanya. adalah keadaan yang salah satunya tidak akan
lengkap tanpa yang lain.”
Ruwaym ditanya
tentang tanda seorang miskin, “Miskin berarti menyerahkan jiwa kepada
ketentuan-ketentuan Allah swt.” Dikatakan pula bahwa ada tiga tanda seorang
miskin: dia melindungi batinnya, dia melaksanakan kewajiban-kewajiban
agamanya,dia menyembunyikan kemiskinannya.
Seseorang
bertanya kepada Abu Sa’id al-Kharraz, “Mengapa kemurahan hati orang kaya tidak
sampai kepada orang miskin?” Dia menjawab, “Karena tiga alasan: kekayaan mereka
didapatkan dengan jalan yang tidak halal, mereka tidak dimampukan untuk memberi
sedekah, dan penderitaan orang miskin itu memang dikehendaki. ” Dikatakan bahwa
Allah swt. mewahyukan kepada Musa as, “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang
miskin, tanyakanlah tentang mereka seperti engkau tanyakan kepada orang-orang
kaya. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka campakkanlah ke tanah semua yang
telah Ku ajarkan kepadamu.”
Diriwayatkan
bahwa Abu Darda’ menegaskan, “Aku lebih suka jatuh dari tembok istana dan remuk
daripada duduk bersama orang kaya, karena aku mendengar Rasulullah saw
bersabda:
‘Waspadalah
untuk duduk-duduk bersama orang mati!’ Seseorang bertanya, ‘Siapa orang mati
itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang-orang kaya.’ (H.r. Tirmidzi dan Hakim).”2’
Seseorang berkata
kepada ar-Rabi’ bin Khaitsam, “Harga-harga telah naik!” Dia menjawab, “Kita
tidak berharga untuk dibuat lapar oleh Allah. Dia hanya melakukan hal itu pada
wali-wali-Nya.”
‘Dalam riwayat
-Tirmidzi (kata aghniya’ sebagai ganti kata mauta) dalam bab al-Libas. Dan
beliau menganggapnya hadis dha’if. Namun menurut al-Hakim, hadis tersebut
shahih.
Ibrahim bin
Adham mengatakan, “Kami meminta kemiskinan tapi diberi kekayaan; orang lain
meminta kekayaan tapi kemiskinan datang kepada mereka.”
Seorang laki-laki
bertanya kepada Yahya bin Mu’adz, “Apakah kemiskinan itu?” Dia berkata, “Takut
pada kemiskinan itu sendiri.” Orang itu bertanya lagi, “Lantas, apa kekayaan
itu?” Dia menjawab, “Rasa aman di sisi Allah swt.”
Ibnul Kurainy
berkata, “Orang miskin yang sejati menjauhi kekayaan agar kekayaan tidak
mendatanginya dan merusak kemiskinannya, sebagaimana halnya orang kaya menjauhi
kemiskinan agar kemiskinan tidak mendatanginya dan merusak kekayaannya.”
Abu Hafs
ditanya, “Dengan cara apa orang miskin mendekati Allah swt.?” Dia menjawab,
“Orang miskin tidak memiliki apa-apa selain kemiskinannya yang dengan
kemiskinan itu dia mendekati Allah swt.”
Allah swt.
mewahyukan kepada Musa as, “Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan yang
setara dengan pahala seluruh ummat manusia di Hari Kiamat nanti?” Musa
menjawab, “Ya.”Allah swt. berfirman, “Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah
bahwa orang-orang miskin punya pakaian.”Musa lalu menyisihkan tujuh hari setiap
bulan untuk mengunjungi orang-orang miskin dan memeriksa pakaian mereka serta
mengunjungi orang sakit.
Sahl bin
Abdullah menyatakan, “Ada lima mutiara jiwa: seorang miskin yang berpura-pura
kaya, seorang lapar yang berpura-pura kenyang, seorangyang bersedih yang
berpura-pura bahagia, seseorang yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan
terhadapnya, seseorangyang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari
tanpa memperlihatkan. kelelahan.”,
Bisyr ibnul
Harits berkata, “Maqam yang paling baik adalah maqam keyakinan yang kokoh dalam
kesabaran melalui kemiskinan sampai masuk liang lahat.”
Dzun Nuun
mengatakan, “Satu tanda kemurkaan Allah kepada seorang hamba adalah bahwa si
hamba merasa takut kepada kemiskinan.”
Asy-Syibly
berkomentar, “Tanda kemiskinan yang paling kecil adalah jika seluruh kekayaan
dunia ini diberikan kepada seseorang dan kemudian disedekahkannya sampai habis
dalam waktu satu hari, tetapi kemudian terlintas dalam pikirannya untuk
menyimpan hartanya bagi esok harinya. Yang demikan itu tidak bisa dianggap
benar dalam kemiskinannya.”
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq berkata, “Orang bertanya mana yang lebih baik: kemiskinan ataukah
kekayaan. Menurut pendapatku, yang paling balk adalah bahwa seseorang diberi
rezeki yang cukup untuk menghidupinya dan dia lalu menjaga dirinya dalam batas
tersebut.”
Ibnul Jalla’
ditanya tentang kemiskinan. Dia diam saja, kemudian mengundurkan diri dan
pergi. Sesaat kemudian dia kembali dan berkata, “Aku punya empat keping mata
uang itu. Aku malu kepada Allah swt. untuk membicarakan kemiskinan.” Kata Ibnul
Jalla’, “Kemudian aku pergi dan mengeluarkan uang itu. Barulah aku berbicara
tentang kemiskinan.”
Ibrahim ibnul
Muwallad berkata, “Aku bertanya kepada Ibnul Jalla’, ‘Kapankah orang-orang
miskin patut disebut miskin? Dia menj awab, ‘Jika tak ada lagi sesuatu pun
darinya yang tersisa padanya.’ Ibrahim bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Dia
menjawab, ‘Jika dia memilikinya, berarti dia tidak memiliki kemiskinan. Tapi
jika dia tak lagi memilikinya, berarti dia memiliki sebutan kemiskinan itu’.”
Dikatakan bahwa
keadaan miskin yang benar adalah jika si miskin tidak merasa puas dengan aspek
mana pun dari kemiskinannya selain dengan Dia yang dibutuhkannya.
Abdullah ibnul
Mubarak menyatakan, “Membuat diri sendiri tampak kaya sedangkan la dalam
keadaan miskin, adalah lebih baik daripada kemiskinan.”
Banan al-Mishry
menuturkan, “Suatu ketika aku sedang duduk-duduk di Mekkah, dan seorang pemuda
berada di depanku. Seorang laki-laki datang kepadanya dengan membawa sebuah
pundi-pundi berisi uang dan meletakkannya di hadapan pemuda itu. Pemuda itu
berkata, ‘Aku tak membutuhkannya.’ Orang itu berkata, ‘Kalau begitu,
bagi-bagikanlah kepada orang-orang miskin.’ Petang harinya kulihat pemuda itu
ada di lembah sedang mengemis. Aku bertanya, Alangkah baiknya jika engkau
menyimpan sedikit dari uang tadi untuk dirimu sendiri.’ Dia menjawab, ‘Siapa
yang tahu kalau aku masih akan terus hidup sampai petang ini’?”
Abu Hafs
berkata, “Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk menemui Tuhannya
adalah dengan terus-menerus fakir kepada-Nya dalam setiap keadaan, mematuhi
Sunnah dalam semua amal perbuatan, dan mencari rezeki dengan jalan yang halal.”
Al-Murta’isy
berkomentar, “Yang paling baik adalah bahwa cita-cita orang miskin itu tidak
melampaui langkah-langkahnya.” Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary menuturkan, “Ada
empat orang yang merupakan model manusia pada masa mereka. Yang pertama, yaitu
Yusuf bin Asbat, tidak mau menerima pemberian apa -pun dari saudara-saudaranya
ataupun dari penguasa. Dia mewarisi uang sebanyak tujuh puluh ribu dirham dari
saudara laki-lakinya tapi dia tak mau menerima satu sen pun darinya. la hidup
dengan menjual daun kurma. Yang kedua, Abu Ishaq al-Fazzary, mau menerima
pemberian dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Pemberian itu
dihabiskannya untuk kebutuhan orang-orang miskin yang kemiskinannya tersembunyi
dan yang tidak meminta-minta sedekah. Adapun pemberian dari penguasa, maka itu
diberikannya kepada orang-orang yang patut menerimanya di kalangan warga
Tarsus. Yang ketiga,Abdullah bin Mubarak, mau menerima pemberian dari
saudara-saudaranya, lalu dibagi-bagikannya kepada orang lain secara adil,
tetapi ia tidak mau menerima dari penguasa. Yang keempat, Makhlad bin
al-Hussian, mau menerima pemberian dari penguasa, tapi tidak dari
saudara-saudaranya. Dia mengatakan, ‘Penguasa tidak menganggap ada orang yang
wajib untuk diberi, sedangkan saudara-saudara menganggap ada’.”
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq - semoga Allah swt. merahmati - berkata, “Ada sebuah hadis yang
mengatakan, ‘Orang yang merendahkan diri di hadapan orang kaya dikarenakan
kekayaannya, berarti dia telah kehilangan dua pertiga agamanya.’ Ini disebabkan
karena seorang manusia terdiri dari hati, lidah dan nafsu. Jika dia merendahkan
diri dengan nafsu dan lidahnya, maka dia kehilangan dua pertiga agamanya.
Tetapi jika dia merendahkan diri di hadapan orang kaya itu dengan hatinya juga,
maka dia kehilangan seluruh agamanya.”
Dikatakan,
“Seorang miskin dalam menjalani kemiskinannya dituntut paling tidak agar dia
memiliki empat hal: ilmu yang akan menjadi pertimbangannya, sikap zuhud yang
akan mengendalikan dirinya, keyakinan yang akan menguatkan imannya, dan dzikir
yang akan membawakan kegembiraan jiwanya.”
Dikatakan juga,
“Orang yang menginginkan kemiskinan untuk kemuliaannya, ia mati dalam keadaan
fakir. Barangsiapa ingin miskin agar tidak disibukkan dengan selain Allah, akan
mati dalam keadaan kaya.”
Al-Muzayyin
menyatakan, “Berbagai jalan kepada Allah swt. lebih banyak daripada bintang di
langit. Tetapi sekarang tak satu pun diantaranya yang tersisa selain kemiskinan,
dan kemiskinan adalah jalan yang terbaik di antara jalan jalan itu.”
Ketika ditanya
tentang hakikat kemiskinan, asy-Syibly menjawab, “Hakikat kemiskinan adalah
bahwa si hamba tidak merasa puas selain Allah swt.”
Manshur bin
Khalaf al-Maghriby menuturkan, “Abu Sah1 al-Khasysyab al-Kabir mengatakan
kepadaku, ‘Kemiskinan adalah kemiskinan dan kehinaan.’ Aku menjawab, ‘Bukan,
justru katakan, ‘Kemiskinan adalah kemiskinan dan kemuliaan.’ Dia balik
berkata, ‘Kemiskinan dan lumpur.’ Aku membalas, ‘Bukan, kemiskinan dan tahta
Ilahi’.”
Syeikh Abu All
ad-Daqqaq berkomentar tentang hadis Nabi saw.:
“Hampi-hampir
kefakiran itu menjadi kekufuran.” (H.r. Abu Nu’aim dan Thabrani).
Maka Syeikh
mengatakan, “Bahaya yang bisa timbul dari sesuatu adalah berbanding terbalik
dengan manfaat dan kebajikan yang terkandung di dalamnya. Apa pun yang sangat
bermanfaat dalam dirinya sendiri, mengandung bahaya yang paling besar pada sisi
lainnya. Begitulah halnya dengan iman. Karena ia adalah sifat yang paling baik,
maka kebalikannya adalah kekafiran. Karena bahaya yang terkandung dalam
kemiskinan adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah swt, menunjukkan
bahwa kemiskinan adalah sifat yang paling mulia.”
Al Junayd
mengajarkan, “Jika engkau bertemu dengan seorang miskin, hadapilah dia dengan
budimu, bukan dengan ilmumu. Kebaikan budi akan mendekatkannya, sedang ilmu
akan menakutkannya.” Saya bertanya, “Wahai Abul Qasim, apakah ilmu benar-benar
menjauhkan orang miskin?” Dia menjawab, “Ya. Jika si orang miskin bersikap
benar dalam kemiskinannya, dan engkau mencurahkan ilmumu kepadanya, maka ilmumu
itu akan meleleh seperti melelehnya timah kena api’.”
Mudzaff’ar
al-Qurmisainy berkata, “Orang miskin adalah orang yang tak membutuhkan suatu
kebutuhan dirinya kepada Allah swt.” Ucapan ini mempunyai makna yang
samar-samar jika dipahami oleh orang yang tak memahami tujuan sang Sufi. Ucapan
ini semata-mata menunjukkan dihentikannya mengajukan tuntutan, berakhirnya
pilihan, dan ridha terhadap apa pun yang ditakdirkan Allah swt.”
Abdullah bin
Khafif mengatakan, “Kemiskinan berarti tidak memiliki harta benda dan
meninggalkan aturan-aturan manusiawi.” Abu Hafs berkata, “Kemiskinan tidaklah
sempurna bagi siapa pun sampai dia lebih mengutamakan memberi daripada
menerima. Kemurahan hati bukanlah orang yang berpunya memberi kepada yang tidak
punya, melainkan orang yang tidak berpunya memberi kepada orang yang punya.”
Ibnul Jalla’
menegaskan, “Seandainya tidak karena adanya tujuan lebih agung dalam tawadhu’,
niscaya akan menjadi cara orang miskin untuk berjalan dengan sikap penuh
kebanggaan.”
Yusuf bin Asbat
berkata, “Selama empat puluh tahun aku hanya memiliki dua lembar baju.”
Salah seorang
Sufi menuturkan, ‘Aku melihat seolah-olah Hari Kiamat sudah tiba. Sebuah suara
mengatakan, ‘Bawalah Malik bin Dinar dan Muhammad bin Wasi’ ke dalam surga.’
Maka aku
perhatikan siapa di antara keduanya yang lebih dahulu masuk, dan ternyata orang
itu adalah Muhammad bin Wasi’. Ketika aku bertanya mengapa dia didahulukan,
dijelaskan kepadaku, ‘Dia hanya memiliki selembar baju, sedangkan Malik dua’.”
Muhammad
al-Masuhy berkata, “Orang miskin adalah orang yang tidak membutuhkan terhadap
sesuatu pun bagi dirinya dari harta benda duniawi.”
Sahl bin
Abdullah ditanya, “Kapankah orang miskin bisa beristirahat?” Dia menjawab,
“Jika dia tidak mengharapkan apa pun bagi dirinya sendiri selain dari saat
kekiniannya.”
Di hadapan Yahya
bin Mu’adz, orang-orang Sufi berdiskusi soal kefakiran dan kekayaan, dia
berkata, “Bukanlah kemiskinan atau kekayaan yang memiliki bobot di Hari
Perhitungan. Hanya kesabaran dan syukurlah yang akan ditimbang. Jadi kelak akan
dikatakan, ‘Orang ini bersyukur, atau orang ini bersabar’.”
Dikatakan,
“Allah swt. mewahyukan kepada sebagian para Nabi-Nya, ‘Jika kamu ingin
mengetahui ridha-Ku padamu, maka lihatlah bagaimana ridhanya si fakir
kepadamu’.”
Abu Bakr bin
Nashr az-Zaqqaq berkata, “Orang yang tidak punya rasa takut kepada Allah swt.
bersama dengan kemiskinannya berarti seluruh makanan yang dikonsumsinya
benar-benar makanan haram.”
Dikatakan bahwa
orang-orang miskin di pengajian-pengajian Sufyan ats-Tsaury adalah laksana para
pangeran. Abu Bakr bin Thahir menyatakan, “Di antara aturan-aturan orang miskin
adalah bahwa dia tidak punya keinginan, kalaupun dia berkeinginan juga, jangan
sampai keinginannya melebihi kebutuhannya.”
Ibnu Atha’
membacakan syair untuk para Sufi:
Mereka berkata,
esok adalah hari raya. Apa yang akan kau
pakai? Kukatakan, Jubah kehormatan yang
diberi-Nya yang mencurahkan cinta dengan penuh kemurahan hati. Kemiskinan dan
kesabaran, adalah pakaianku yang di bawahnya ada satu hati bagi kekasihnya,
yaitu hari Jum’at dan hari Raya.
Pakaian yang
paling layak untuk menemui Kekasih pada hari ziarah adalah pakaian yang
dicintai-Nya.
Tahun-tahun
penuh berkabung bagiku jika Kau tak ada,
wahai Harapanku,Hari Raya adalah hari ketika aku melihat dan mendengar
suara-Mu.
Ketika ditanya
tentang orang miskin sejati, Abu Bakr al-Mishry menjawab, “Dia adalah orang
yang tidak memiliki sesuatu dan tidak pula berkeinginan memiliki sesuatu.”
Dzun Nuun
al-Mishry berkata, “Aku lebih menyukai rasa fakir kepada Allah swt. secara
langgeng, dibanding memasuki dunia Sufi dengan penuh takjub.”
Abu Abdullah
al-Hushry menuturkan, “Abu Ja’far al-Haddad bekerja selama dua puluh tahun,
dengan penghasilan satu dinar setiap hari. Uang itu dibelanjakannya untuk
orang-orang miskin sementara dia sendiri berpuasa; setelah itu dia akan
berkeliling mencari sedekah setelah shalat maghrib untuk berbuka puasa.”
An-Nury
menyatakan, “Tanda seorang miskin adalah kerelaan manakala dia tidak punya
apa-apa dan memberi dengan murah hati manakala dia punya banyak rezeki.”
Muhammad bin All
al-Kattany berkata, “Ada seorang pemuda bersama kami; di Mekkah yang memakai
pakaian kum’al dan bertambal-tambal. Dia tidak pernah ikut serta dalam
percakapan kami ataupun duduk bersama kami. Dalam hati aku sangat merasa sayang
kepadanya. Suatu ketika aku diberi uang dua ratus dirham dari sumber yang
halal. Uang itu kubawa kepadanya, ‘Uang ini telah datang kepadaku dari sumber
yang halal.
Belanjakanlah
untuk keperluanmu.’ Seraya memandang kepadaku dengan sikap merendahkan, dia
mengungkapkan apa yang selama itu tidak kuketahui, ‘Saya membeli kesempatan
untuk bisa duduk bersama Allah swt. dalam pengabdian yang leluasa ini dengan
harga tujuhpuluh ribu dinar dari harta benda dan kebun-kebun saya. Sekarang
Anda hendak menyesatkan saya dari keadaan saya sekarang ini dengan uang itu ke
tanah.’ Ia lalu berdiri dan menolaknya. Aku duduk dan mengumpulkan uang itu
dari tanah. Belum pernah aku menyaksikan kegagahan seperti kegagahan pemuda itu
ketika dia berjalan pergi, ataupun kehinaan seperti kehinaanku ketika aku
mengumpulkan uang itu.”
Abu Abdullah bin
Khafif mengatakan, “Aku belum pernah diwajibkan membayar zakat fitrah pada
akhir bulan Ramadhan selama empat puluh tahun, sementara aku diterima dengan
penuh penghormatan di kalangan kaum terpilih maupun kaum awam.”
Ketika ad-Duqqy
ditanya tentang perilaku buruk di kalangan para fakir di hadapan Allah dalam,
urusan-urusan mereka, dia berkata, “Perilaku buruk itu adalah kejatuhan mereka
dari upaya mencari hakikat menjadi upaya mencari ilmu.”
Khayr an-Nassaj
menuturkan, “Aku memasuki sebuah masjid dan kulihat ada seorang fakir di situ.
Ketika dia melihatku, dipegangnya bajuku sambil memohon, ‘Wahai syeikh,
kasihanilah aku, karena penderitaanku sangat besar!’ Aku bertanya, Apa yang kau
derita?’ Dia menjawab, Aku telah tidak lagi diberi cobaan, dan selalu dalam
keadaan sehat walafiat!’ Aku memandangnya, tiba-tiba la telah dibukakan sedikit
dari harta dunia.”
Abu Bakr
al-Warraq berkata, “Berbahagialah orang yang miskin di dunia dan di akhirat.”
Ketika ditanya apa maksud perkataannya itu, dia menjawab, “Penguasa di dunia
ini tidak menuntut pajak darinya, dan Yang Maha Kuasa di akhirat tidak membuat
hisab dengannya.”
---(ooo)---
0 komentar:
Posting Komentar